Purwoharjo, 23 September 2019 11:47 WIB
______Ahmad Mustaqim______
Rejo Andoyo melihat bangunan di pinggir aliran Selokan Kalibawang, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tersenyum.
Saat memasuki bangunan yang berdempetan dengan jalan Dusun Kedungrong, Desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh itu, ia segera memantau beberapa sudut ruangan seluas sekitar 2,5 meter kali 3 meter.
Bangunan bercat putih itu berada tepat di tepi selokan. Salah satu sisi aliran air selokan yang dibangun sekitar pada 1960-an ini dialirkan di bawah bangunan tersebut. Aliran air selokan dari hulu Sungai Progo yang berjarak lebih dari 15 kilometer ini kemudian memutar turbin di bawah bangunan tersebut.
Bangunan tempat dua buah turbin itu menjadi tempat pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) yang menjadi bagian kehidupan Rejo dan puluhan warga lain. Melalui PLTMH itu mereka mendapat energi yang ramah lingkungan.
“Listrik dari PLTMH ini ramah lingkungan dan tak ada polusi. Saat listrik PLN mati, listrik kami tetap menyala dan membuat warga lain iri,” kata Rejo saat ditemui di PLTMH RT 52 RW 25 Dusun Kedungrong, Desa Purwoharjo, Minggu, 22 September 2019.
Rejo bersama puluhan Kepala Keluarga lainnya menggunakan PLTMH sudah lebih dari tujuh tahun. Sejarah PLTMH ini dimulai dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta di daerah tersebut.
Kegiatan akademis ini lantas melihat potensi besar di Dusun Kedungrong untuk dibuat sumber tenaga listrik dari aliran air yang mengairi pertanian untuk sawah-sawah di Kulon Progo itu.
Awalnya, Rejo mengisahkan, aliran listrik dibuat hanya sebatas untuk menerangi jalanan kampung. Setahun berselang, wilayah tersebut memperoleh bantuan atau hibah peralatan PLTMH dari Dinas Pekerjaan Umum Energi Sumber Daya Mineral (PU ESDM) DIY.
Dari sinilah warga RT 52 Dusun Kedungrong menyusun organisasi pengelolaan PLTMH. Pengurus selesai terbentuk, penerangan pun mulai dilakukan ke rumah warga. “Awalnya untuk lima rumah warga sebagai sampel,” ujar Rejo yang kini menjadi teknisi PLTMH.
Warga yang menjadi sampel pemakaian PLTMH ini lalu merasakan manfaatnya. Pengelola PLTMH memutuskan memperbanyak jaringan secara swadaya. Jaringan ini sebagai sarana mendekatkan aliran listrik ke rumah-rumah warga yang berjarak lebih dari 34 kilometer dari pusat kota Wates, ibu kota Kabupaten Kulon Progo ini.
Di sisi lain, Rejo mengatakan, aliran listrik dari PLTMH ini memiliki daya yang cukup besar, sekitar 8.000 ampere. Dari PLTMH ini dipasang tiga buah kabel yang didistribusikan lewat jaringan yang telah dibuat. Artinya, ada sekitar 24.000 ampere kekuatan arus yang dihasilkan dari PLTMH.
Sampai saat ini, dari 46 KK di Dusun Kedungrong, 35 KK di antara sudah memakai PLTMH. “Untuk penerangan jalan, dari semula 11 titik sekarang sudah menjadi 30 titik,” kata lelaki yang berprofesi sebagai petani organik ini.
Bendahara PLTMH, Rahmad Sutejo menjelaskan, setiap KK dikenakan biaya Rp7 ribu rupiah per 36 hari pemakaian. Nominal Rp7 ribu itu di antaranya untuk biaya penerangan jalan (Rp2 ribu) dan perawatan mesin (Rp5 ribu). Dalam setahun, warga hanya mengeluarkan sekitar Rp70 ribu. “Iuran penggunaan PLTMH ini mulai 2013 setelah efektif berjalan,” ujar Rahmad.
Dalam operasional, PLTMH di Dusun Kedungrong terdapat dua mesin dan dioperasikan secara bergantian. Satu mesin untuk siang, dan satunya untuk malam hari.
"Warga juga ada listrik dari PLN. Yang dari PLN dipakai kalau memang dibutuhkan, kayak PLTMH dari ada kendala perbaikan," kata dia.
Tak Berharap Upah
Hampir setiap sore Rejo membersihkan saluran turbin PLTMH dari berbagai gangguan sampah. Ada berbagai jenis sampah yang bisa mengganggu gerakan turbin dan berimbas tidak stabilnya daya listrik dari PLTMH.
Berbagai jenis sampah yang bersarang di turbin PLTMH yang salah satu bikin pengelola PLTMH prihatin yakni sampah popok bekas yang dibuang sembarangan. Ini ditemukan hampir setiap hari, 2-4 buah sampah popok.
“Ini warga membersihkan (turbin) PLTMH swadaya, kesadaran sosial saja, tidak dibayar. Pembersihannya dilakukan secara bergantian. Biasanya yang rumahnya paling dengan dengan PLTMH,” kata Ketua Kelompok PLTMH, Suhadi.
Ia mengatakan pembersihan dilakukan pada rentang waktu pukul 16.00-17.00 WIB. Meski disertai rasa tak suka dengan perilaku buang sampah sembarangan, mau atau tidak mau mereka tetap harus melakukan pembersihan itu. “Pembersihan dilakukan dengan kesadaran masing-masing,” katanya.
Ia menambahkan, warga RT 52 yang menggunakan listrik dari PLTMH baru sekitar 90 persen. Menurutnya, pengurus akan memperluar jaringan tersebut agar masyarakat yang merasakan PLTMH ini bisa lebih luas.
Sumber berita :